Rabu, 13 Januari 2010

Nice To Meet U


Ba’da ashar. Bukit landai, rumput nan hijau. Kicauan burung dan lembutnya belaian angin menyatu, menjadi harmonisasi karaya indah sang Illahi. Air danau beriak-riak tersapu belaian angin. Sosok wanita dengan jilbab hijau polos miliknya berkibar-kibar mengikuti sapaan sang angin. Berdiri tegak menghadap danau dengan mata terpejam. Waktu seakan terhenti seketika menyibak kembali masa itu …….

Pukul 23:30 teriakkan mama diruang tengah memecah keheningan.
“Pa, mama minta papa ceraikan mama sekarang juga. Mama malu pa, setiap hari yang papa lakukan hanya main perempuan saja”.

“Terserah ma, papa sudah tidak peduli”. sergah papa berlalu tak kalah tinggi suaranya dari mama.

“Pa…. papa…..” Teriak mama memanggil papa. Namun, papa tetap berlalu tak menghiraukan jeritan mama. Aku hanya bisa menangis sesegukkan dengan tubuh gemetar didalam kamar. Kututup kedua telingaku. Kejadian semacam ini bukan baru sekali ini saja. Tak jarang Papa dalam keadaan mabuk, marah-marah tak jelas pada Mama. Memecahkan bahkan melempar apa saja benda berada didekatnya. Biasanya Mama hanya diam dan diam, lalu menangis. Terkadang pancasila mendarat di pipi Mama. Namun, kali ini kesabaran Mama sudah diambang batas. Kedzaliman Papa sudah tidak dapat di tolerir.

Pagi yang cerah, disambut senyum ceria. Seharusnya….. seragam putih abu-abu, jilbab putih sudah lengkap aku kenakan.

“Jam 06:30, aku harus segera berangkat”, desisku dalam hati. Tas ransel coklat aku raih. Kaki melangkah mulai beranjak pergi. Menyusuri jalan setapak Komplek Agung Permai. Sorot mata belas kasih ataupun cacai maki bukan baru kali ini ku rasa. Komplek berpadat penduduk. Rumah berjajar dan berhadap-hadappan. Jikalau berita buruk lebih cepat menyebar itu hal biasa disini. Kalah pamor ketimbang berita baik. 

“Zar…. Zar…. Zahra” seseorang menepuk pundak Zahra.

“Eh…. Erna” Zahra berpaling.

“Kok cuma eh.., dari tadi aku panggil-panggil kamu nggak denger”.

“Dari tadi aku melamun sampai-sampai Erna berteriak memanggil aku tidak dengar” Zahra membatin.

“Maaf deh… maaf…” Zahra menangkupkan kedua telapak tangan kedada meminta maaf pada Erna. Erna bisa memaklumi Zahra, sebab Ia mengenal betul sahabat tersayangnya itu. Lima belas menit berlalu Zahra dan Erna tiba di Madrasah Aliyah Negeri 1 Muara Persada. Ruang kelas dua belas IPA 2. Zahra meletakkan tas abu-abu kesayangan miliknya pada meja nomor dua deretan tengah. Duduk sejenak melepas lelah. Ruri datang tegopoh-gopoh menghapiri, menyampaikan pesan dari Bu Sri.

“Zar, jam istirahat nanti kau harus menemui Bu Sri diruang BP”. Ruri terengah-engah.
“Terima kasih Rur…” ucap Zahra pelan. Ruri mengangguk pertanda iya. Untuk kesekian kali Bu Sri memanggil Zahra menghadapnya. Tak bosan-bosan Bu Sri menasehati dan mensuport Zahra mengingat nilai-nilai Zahra yang memang memprihatinkan kian memburuk”. Seperti pesan Ruri, Zahra menghadap Bu Sri jam istirahat.
“Nak, ujian kelulusan sudah semakin dekat. Setidaknya, walaupun bukan untuk menyenangkan hati Mama mu, belajarlah untuk masa depanmu”. Zahra terpaku diam. Mendengar, namun tak ada daya baginya untuk dapat melaksanakan. Jauh direlung hati ada beban lebih berat menghujam seolah jadi perisai penghalang.

“Aku tak ingin hidup lagi. Tak ada yang harus aku perjuangkan . Semuanya terasa hampa buatku” Jerit batin Zahra.

Penghujung bulan April Mama resmi bercerai dari Papa. Satu minggu sebelumnya Papa telah menikah dengan seorang wanita yang usianya sebaya denganku. Aku memilih ikut mama. Duniaku kini hampa. Tak ada impian, tak ada harapan ataupun kebanggaan yang mampu kupersembahkan buat Mamaku tersayang. Menyandang predikat “Untung Lulus” begitulah teman-teman menyebutnya. Terpaut satu angka nyaris tidak lulus. Aku jatuh, sejatuh-jatuhnya. Masa depanku telihat kabur, juga samar-samar. 

“Maafkan aku ma, aku tidak bisa membuat mama bangga” rintih batin Zahra bergejolak. Tubuhnya lunglai berjalan. 

“Zahra, itu mobilnya sudah ada. Ayo lekas nanti kita tidak dapat tempat duduk” 

“Iya, Er”

Sahut Zahra mengiyakan permintaan Erna sebisa Ia mengeluarkan kata” Makhluk bertinggi sedang, kulit sawo matang menunggu Zahra diseberang. Sepanjang perjalanan Zahra hanya diam tanpa bicara. Erna memencet bel, itu artinya kami telah tiba ditempat tujuan. Zahra membuntuti Erna turun dari Agdes (Angkutan Desa). Ia berjalan tertunduk, sesaat kemudiaan tersadar bahwa Ia tidaklah sendiri. Ada Erna menemaninya. Zahra menepuk pundah Erna yang berjalan mendahuluinya.

“Er….”
“Iya mbak ?”
“Astagfirullah hal’adzim” ucap Zahra terkejut.
“Maaf, ada apa ya ? Kenapa mbak tiba-tiba kaget”
“Aduh, afwan mbak saya salah orang. Saya kira mbak adalah teman saya Erna” Zahra teringat kembali, rupanya tadi dia sama sekali tidak menyeberang jalan. Pegumumman tadi membuat pikiran Zahra melayang entah kemana. Wanita yang semula Ia pikir adalah Erna hanya karena jilbabnya mirip. Tanpa tersadar membuat kedua kakinya rela melangkah begitu saja.

“Kalau begitu saya sekarang ada dimana ya?” Lanjut Zahra memperhatikan sekeliling. “Ini namanya Desa Sumbawa” beritahu wanita itu. “Memangnya tujuan mbak kemana?” lanjutnya.

“Saya pulang ke Betung”

“Oo… kalau begitu mbak salah naik Agdes. Seharusnya dari tempat mbak berada mbak menyeberang” Jelas wanita yang Zahra taksir tiga tahun diatasnya. Perasaan malu Zahra malu dan takut berkecamuk, bercampur jadi satu.

“Seberapa jauh dari sini ketempat tujuan saya?” Zahra kembali bertanya.

“Lumayan jauh, kurang lebih empat puluh lima menit” Zahra dan wanita itu terlibat obrolan cukup lama. Wanita itu memperkenalkan diri “Kenalkan aku Erna, panggil saja mbak Erna” seraya mengulurkan tangan. Hal sama dilakukan pula oleh Zahra. Persis seperti perkiraan Zahra, usia Erna tiga tahun diatasnya. Sedangkan Ia sendiri saat ini baru genap berusia tujuh belas tahun. Tidak heran saat Zahra memanggilnya Ia memalingkan wajah, ternyata namanya juga Erna. Nama yang persis seperti Erna sahabatnya. Erna sahabat Zahra memilki nama pangjang Erna Ningtias. Sedangkan ini, bernama lengkap Khasanah Fitria Erna.
Orange keemasan matahari pelahan sirna menyisakan malam. Kendaraan tujuan sebaliknya tak kunjung tiba. Zahra mengiyakan tawaran Erna bermalam dirumahnya. Kendati Ia sadar tidak baik menerima kebaikan orang yang belum begitu dikenal.

“Ah…. itu namanya su’uzon, lebih tidak baik lagi” Zahra menepis jauh-jauh pikiran itu. Zahra menelepon Ibunya, bahwa hari ini Ia menginap dirumah temannya. Zahra menelepon Ibunya dari wartel terletak tidak jauh dari rumah Erna. Alloh hu’akbar, Alloh……. hu’akbar. Adzan magrib berkumandang seruan sekalian alam.

Usai mandi tubuh terasa segar. “Entah kenapa berada dirumah ini hatiku begitu tentram diselimuti kehangatan” usik Zahra dalam sanubarinya seusai menjalankan sholat magrib. Ba’da magrib anak-anak satu persatu berdatangan . Rupanya selain mengajar mengaji mbak Erna juga mengajarkan semphoa khusus anak-anak Sekolah Dasar. Zahra semakin kagum dibuatnya. Erna banyak memiliki kelebihan, selain paras ayu dan lembut hati. Ada perasaan malu, iri tiba-tiba datang merayap. Hari menjelang malam anak-anak kembali kerumah masing-masing.

“Apa mbak tidak capek?” “Terkadang. Namun setelah melihat adik-adik yang begitu semangat belajar, kelelahan itu menguap hilang begitu saja”

“Mbak Ria. Bolehkan aku panggil mbak, mbak Ria”

“Ehm…” Erna berfikir sejenak.

“Kenapa mbak?” Zahra keheranan.

“Tidak, tidak apa-apa. Baru kali ini ada orang memanggil mbak Ria. Semua teman-teman mbak panggil mbak Erna. Asing saja ditelinga.

"Memangnya kenapa dik?”

“Kalau Erna, sama seperti sahabatku. Ia dipanggil Erna. Ya… biar nggak salah orang lagi maksudnya”

“O..o… begitu. Seperti kejadian sore tadi ya” Erna tertawa kecil mengingat kejadian itu.

“Lho, kok mbak tertawa” Zahra bingung.

“Tidak apa-apa dik. Kamu boleh panggil mbak apa saja, asal jangan panggil mbak pussy. Entar kucing tetangga sebelah demo. Soalnya namanya dibajak he…he… Zahra dan Erna tertawa bersamaan. Malam semakin larut. Obrolan keduanya kian berlanjut.

“Disetiap kesukaran pasti ada kemudahan, disetiap kemalangan akan ada keberuntungan. Ada niat pasti akan berhasil….. berhasil….. berhasil……” Zahra tersentak dari tidurnya. Ucapan Erna terbawa tidur menjadi hiasan mimpi malamnya. Zahra bangkit. Alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dilantunkan begitu merdu oleh Erna. Zahra dibuat tersihir olehnya. Hembusan kehangatan menyelusup kehati Zahra.

“Sudah subuh rupanya” desir hati Zahra. Zahra bangkit, berwudhu kemudian sholat. Pagi merekah. Sinar surya berpendar kehangatan. Tibalah bagi keduanya untuk berpisah. Sebelum Zahra pergi Erna memberikan nomor handponnya. Dengan maksud agar sillahturahmi tetap terjaga.
Dua tahun berlalu. Zahra tidak melanjutkan studinya dibangku kuliah. Saat ini Ia tengah disibukkan menulis cerpen. Zahra menjadi penulis tetap kolom cerpen di tabloit Insani. Dengan honor satu juta perbulan cukup untuk biaya Ia dan Ibundanya sehari-hari. Pada akhirnya kegigihannya menuai hasil. Kendati dulu saat duduk dibangku Sekolah Menengah Umum teman-teman suka mengejeknya.

“Kalau tidak bisa nulis, jangan nulis. Merusak pemandangan saja”. Sampai saat ini peristiwa itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Berkat perkataan teman-temannya itu pulalah Ia terlecut untuk berusaha lebih baik lagi. Zahra yang sekarang berbeda dengan Zahra yang dulu. Bila Zahra yang dulu memakai jilbab hanya pada saat sekolah saja. Namun, Zahra yang sekarang memilih jilbab sebagai kesehariannya. Ia jauh lebih agamis. “Nice too meet you, mbak Ria” lirih Zahra menengadah dijendela.

“Kalau saja handponku tidak digondol jambret dipasar pagi tadi, sekarang aku pasti sedang telepon atau SMSan sama mbak Ria” keluh Zahra kesal. Mereka sudah dua minggu tidak melakukan kontak satu sama lain.
“Zah….. Zahra”. Seru Ibunda Zahra memanggilnya.

“Iya ma”. Zahra menyahut. ‘Nak ada tamu. Katanya ada sesuatu yang ingin Ia berikan pada Zahra.

“Sesuatu untukku? Siapa Ma?. Zahra melongokkan kepala dari dalam kamar.

“Nak Hafiz”. Terang Ibunda Zahra mendekati sang putri tercinta. “Hafiz…”. Zahra mengulangi. Ia mencoba menginggat sepertinya Ia pernah mendengar nama itu. Tapi Ia lupa dimana? dan dari siapa?

“Iya ma, tunggu sebentar”. Lanjut Zahra. Zahra merapikan sebentar jilbab biru mudanya. Ia bergegas menuju ruang tamu. Sosok pemuda jangkung berkacamata duduk menantinya. “Dik Zahra ya?”. Sapa Hafiz.

“Iya benar. Saya Zahra”. Timpal Zahra gelagapan tatkala Hafiz menyebut namanya. “Pria yang manis”. Celetuk Zahra dalam hati.

“Begini dik, tujuan saya kesini tidak lain untuk menyampaikan amanah seseorang. Erna atau yang biasa adik panggil Ria menitipkan surat untuk dik Zahra”. Hafiz memberikan surat beramplop putih ke Zahra. Sekilas Hafiz memandang wajah Zahra. Ada semacam getaran halus menerobos pilar-pilar yang selama ini membeku. Amanah Erna telah Ia sampaikan. Hafiz pamit undur diri.
Zahra bergegas menuju kamar membawa serta surat beramplop putih ditangannya. Zahra penasaran apa gerangan isi surat Erna. Perlahan dibukanya dan dibaca.



Kepada Yang Tersayang
Adindaku Azahra


Assalammu’alaikum


Semoga kau senantiasa bergelimang cinta. Tetap terjaga akan hadir-Nya. Walau raga tak bersua, cukuplah hati sebagai pencerah. Dikala helaan nafas menjelmakan do’a-do’a pertanda jiwa tetap menyatu.
Adindaku Azahra maukah kau mengabulkan permintaanku? Insya Alloh niat ini baik kan berujung baik. Menikahlah dengan Hafiz. Hafiz laki-laki yang baik, mbak yakin Zahra akan menyukainya. Jadilah kau Adikku permaisuri bagi Hafiz. Entah, keyakinan apa yang membawa mbak berani menyampaikan hal ini padamu Adikku. Kau tentu telah mengenalnya. Dia tak lain adalah orang yang menghantarkan surat ini untukmu. Mbak sengaja berpesan pada Hafiz agar Ia sendirilah yang menghantar surat ini langsung ketanganmu. Seperti cerita mbak terdahulu sedikit banyak kau telah mengenal Hafiz. Maka dari itu, mbak mengirim Ia padamu, dengan maksud agar kau dapat melihatnya. Dan demikian pula mengenai dirimu mbak juga telah bercerita banyak ke Hafiz. Pilihan ada ditanganmu Zahra. Kau boleh menerima ataupun menolak. Sebab, hakikatnya sebuah pernikahan haruslah dilandasi rasa sayang atar keduanya. Hanya inilah kado terakhir yang mungkin bisa mbak berikan padamu. Semoga ridho Alloh selalu mengiringi langkahmu.


Wassalam.

Khasanah Fitria Erna



“Hafiz ……” Zahra mengerutkan dahi.

“Itukah Hafiz tunangan mbak Ria yang pernah dicerita dulu”. Mengingat hal itu serta merta menerbitkan keheranan, mengundang berjuta tanya dibenak Zahra.

“Apa maksud semua in?i”. Telisik Zahra. Ada rasa bersalah, kecemasan luar biasa berkecamuk didada Zahra. Zahra beranjak keluar rumah menuju rumah Erna tak jauh dari rumahnya. Ia teringat handphone Erna. Nomor Ria, begitu Ia panggil. Persah Ia simpan, sewaktu ketika meminjam untuk membalas sms Ria. Dikarenakan, hal penting. Sedangkan, handphonenya sendiri sedang habis pulsa.

“Alhamdulillah ternyata masih ada”. Zahra meminta Erna untuk mencatatkannya. Tidak berlama-lama, Zahra pamit pada Erna menuju wartel yang tidak jauh hanya berkelang satu rumah dari rumah Erna. Alangkah terkejut Zahra tatkala ketika yang menerima telepon adalah Ibunda Ria. Belum hilang keterkejutan Zahra. Zahra diberitahu bahwa Ria telah berpulang dua minggu yang lalu. Kontan saja kabar itu mebuat Zahra laksana diguncang topan dasyat.
“Innalillahi wa’ina illahhi roji’un” kalimat pertama kali meluncur dari bibir Zahra seolah tak percaya akan apa yang barusan Ia dengar. Zahra terpaku. Hatinya pilu bagai ada duri menusuk-nusuk. Terasa perih. Tak kuasa Ia menahan. Zahra menyudahi percakapan dengan nada bergetar

“Wassallam”. Zahra berlari sekencang-kencangnya kembali kerumah menuju kamar. Surat dari Ria Ia raih. Didekap kedada dan dipeluk erat-erat. Diiringi derai air mata. Zahra terpangkur. Dengan lirih Ia berkata “Ya Alloh begitu besarkah rasa sayang-Mu padanya, hingga begitu epat kau panggil Ia”. Zahra tersadar. Ia menyeka air mata terlanjur mengalir. Memori kala pertama mereka berjumpa kembali membayang dalam benak. Ria tidak ingin Ia larut dalam sedih, apapun dan dalam keadaan apapun.

“Ya Rahman, berikan mbak Ria tempat terbaik disisi-Mu”. Bibir bergetar. Do’a Zahra pada Robbnya dengan hati berseliput pilu.

Keesokan harinya Sahwa berziarah kepusaran Ria membawa serta Ibunda tercintanya. Zahra berkata “Nice too meet you, mbak Ria. Kau telah menjadi pelita, nahkoda, petunjuk arah tatkala diriku rapuh tak berdaya.
Cahaya matahari yang tadinya keemasan kini tergantikan orange kehitam-hitaman. Angin bertiup sepoi-sepoi terus membelai lembut jilbab sosok wanita tengah berdiri menghadap danau.

“Bunda….” Teriak sosok bocah kecil riang berlari mendekatinya. Diikuti sosok pria jangkung bemata sipit jauh dibelakangnya. Ia tergugah. Wanita itu berpaling kearah suara berasal.

“Nabil…. “ sahutnya dengan wajah sumringah. “Ayah mana sayang” “Itu…. “ jari telunjuk bocah kecil itu mengarah kesosok pria tersebut.

“Mas Hafiz”. Serunya teriring senyum.

“Dik, ayo kita pulang”. Pinta Hafiz setiba dihadapannya.


Selesai

By : Tsurayya Az-Zahra
Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
Sabtu, 9 Februari 2008 / 2 Shafar 1429 H