Amsterdam, Juni 1999 ...
Tidak ada alasan untuk meninggalkan Amsterdam pada musim panas. Inilah masa terbaik untuk bersepeda di sekitar Leidseplein dan Dam Square sambil menikmati sinar matahari yang merupakan surga tahunan bagi warga kota. Ia masih ingin duduk di pinggir pantai Blomendahl berbekal kanvas dan alat lukis, atau menikmati Koffie verkerd di salah satu kafe di 9 Straatjes dari pagi hingga sore bersama buku sketsanya. Sambil mengosongkan baris terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan yang
sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalanya: umurku baru jalan delapan belas, tapi kenapa aku merasa terlalu lelah untuk semua ini?
Pintu di balik punggungnya berderit pelan. “Nee2, Keenan. Jangan bebani kopermu dengan buku. Biar Oma yang kirim semua bukumu ke Jakarta.”
Keenan tersenyum tipis, urung membereskan buku-buku tadi. Hatinya terusik. Oma mengatakan itu seolah-olah ia tak akan pernah kembali ke rumah ini. Keenan tahu saat ini akan hadir tak terelakkan. Hanya keajaiban yang bisa membatalkannya kembali ke Indonesia.
Bertahun-tahun, Keenan berharap dan berdoa keajaiban itu akan datang. Keajaiban tak datang-datang. Hanya sesekali telepon dari Mama yang memuji sketsa-sketsa yang ia kirim,
tanpa ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa terus tinggal di Amsterdam, menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur ke panti jompo karena dianggap terlalu
tua untuk hidup sendiri, melukis di salah satu bangku di Vondelpark, tumbuh besar menjadi seniman-seniman yang ia kagumi dan banyak berseliweran di kota ini.
Keajaiban yang dimiliki Keenan punya tanggal kedaluwarsa. Cukup enam tahun saja. Orangtuanya bertengkar hebat seminggu sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia,
anak pertama mereka, dilepas ke negeri orang. Padahal Keenan tidak merasa di negeri orang. Bukankah di kota ini mamanya dilahirkan dan menjadi pelukis, sampai akhirnya
pergi ke Indonesia dan berhenti menjadi pelukis? Keenan tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis yang mengalir dalam
darahnya, justru ingin memadamkan apa yang mereka wariskan?
Papa khawatir Amsterdam akan menghidupkan seorang seniman dalam diri anaknya. Kenapa Papa takut? Keenan dulu bertanya. Karena otakmu terlalu pintar untuk cuma jadi pelukis, jawab ayahnya. Keenan pun bertanya-tanya, haruskah dia mulai menyabotase nilai-nilainya sendiri di sekolah agar papanya keliru? Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi, Papa dan Mama sepakat. Dia diizinkan bersekolah di Amsterdam untuk enam tahun. Hanya enam tahun.
Baca lebih lengkap download disini: Perahu Kertas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please come back,,,, ^^