Minggu, 17 April 2011

Rasa Behind The Scenes

Keluh mengawali kesah.  Tak tahan memendam sakitnya rasa.  Rasa bersalah dan dipersalahkan.  Kecewa memulai bekal pengembaraannya menemui berbagai rasa.  Rasa Perih, rasa Pedih, dan rasa Bahagia.  Ia bertekad menemukan jawaban atas dirinya.  Kenapa harus ia menjadi terdakwa?.  Penyebab segala rasa, sumber malapetaka.  Sehingga membuat orang lain terluka karenanya.  Kecewa menyadari melangkah berarti ia memulai tragedi.  Benar saja, belum mencapai setengah perjalanannya Kecewa dihadang Perih.  Perih menengadah bungkam.  Hening dalam ketidak berdayaan.  Hanya ada diam menyelimuti kehampaan.

Kecewa         :  “Hai, perih? Apa gerangan yang tengah engkau lakukan”.  (Kecewa memulai pembicaraan).

Perih              :  “Pergi kau.  Menyingkirlah dari hadapanku.  Kehadiran mu membuatku semakin dirundung rasa perih”.  (SahutPerih ketus).

Kecewa         :  “Kenapa kau berkata begitu.  Apa salahku padamu?.  Hingga kau tega menuduhku demikian?”.

Perih              :  “Berhentilah berpura-pura.  Aku bisa seperti ini, itu karena kau Kecewa.  Kau penyebab kenapa aku sekarang Perih”.

Kecewa         :  “Tap.... tap...tapi.......”

Perih              :  “Enyahlah kau dari hadapan ku”.  (Hardik Perih).

Kecewa pamit bersama persaan tak terima.  Berat langkah kembali memulai kisahnya.  Sepanjang berjalan batinnya menggerutu.  Ingin membela namun tiada daya.

Sedih             : “Hu...uuuuuu........ huu....uuuuuuu.......”.  (Sedih menangis terisak-isak meratapi keburukan yang tengah dirasakannya).

Kecewa         : (Kecewa datang menghampiri.  Ia bermaksud untuk menghibur)“Maaf perih, bolehkah aku bertanya?”.

Sedih             :  “Ya, apa yang ingin kau tanyakan?.   Huu...uuuu... hu....uuuuu...... hiks..... hiks..... (Sahut sedih ditengah isak tangisnya).

Kecewa         :  “Kenapa kau berurai air mata.  Dapatkah kau memberitahuku sebentuk rasa itu?”.  (Rasa penasaran menggugah hasrat tanya Kecewa).


Sedih             : “Waktu seolah terhenti.  Seakan tak menemui kehidupan laksana terkunci dalam ruang pengap.  Sekuat apapun usaha kau untuk tak tercekat akan membuatmu tetap terjerat.  Semakin terpuruk dalam perangkap.  Perangkap kesedihan, perangkap gelimangan air mata.  Samudra ketidak berdayaan tiada bertepian”.

Kecewa         :  (Air bergulir terus-menerus membajiri kesedihan.  Sedih benar-benar tengah diliputi kesedihan yang teramat dalam.  Kecewa tak peduli ia masih harus terus bertanya).  Sedih, bolehkah aku tahu apa penyebab kesedihan mu?”

Sedih             :  “Kau”.  (Lantang Sedih berujar.  Tatapannya nanar.  Menatap tajam Kecewa).

Kecewa         :  “Aaaa…a..a... ku”. (Kecewa terbata-bata mengulangi ucapan sedih).

Kecewa         :  “Apa maksudmu dengan mengatakan aku penyebabnya?” (Nada keterkejutan kecewa  yang sama sekali tidak terima atas hujatan Sedih padanya).”


Sedih             :  “Ya.  Jika bukan karena kau aku tidak mungkin sedih seperti sekarang ini.” (Sedih kembali menegaskan.  Intonasinya mulai meninggi kendati air mata membajiri).


Kecewa         :  “Tiiidak…. tiiiidak ini tidak mungkin.”   (Kecewa hilang kepercayaan diri.  Langkah gontainya.  Ia pun berlalu pergi meninggalkan sedih bersama kesedihannya).

Mengapa aku?, Kenapa harus aku?.  Kecewa terus menerus menanyakan pertanyaan serupa disetiap jengkal lelah langkahnya.  Kini Ia semakin jauh meninggal sedih.  Tak lama kemudian, disaat pengujung lelahnya Ia menjumpai sesosok yang tak asing baginya.  Sesekali tersenyum lalu kemudian tertawa begitulah seteruslah prilaku sosok yang dikenal akrab oleh Kecewa.  Setiap saat selalu dengan kebiasaan serupa ternsenyum lalu tertawa.

Kecewa         :  “Hai, bahagia”. (Sapa kecewa bernada goyah).

Bahagia         :  “Ah…. rupanya kau Kecewa.  Kemarilah.”  (Ajak bahagia).

Kecewa         :  “Aku iri padamu.  Kau tak pernah terguncang Perih, apalagi Sedih.  Yang ada hanya senyum, hanya tawa.”  (Keluh Kecewa).

Bahagia         :  “Ha… ha…. ha….. Kecewa-Kecewa sebaliknya aku berterima kasih padamu”.  (Tertawa terbahak-bahak mendengar keluhan Kecewa”).

Kecewa         :  “Apa…..????. (Terkejut, tidak percaya).  Semua menyalahkan aku.  Karena aku Perih ada, karena aku pula Sedih menjelma.  Tapi, kau malah berterima kasih padaku.”

Bahagia         :  “Iya, aku  benar-benar berterima kasih pada mu.  Jika bukan karena aku bertemu kau Kecewa, aku tidak mungkin merasakan Perih, merasakan Sedih.  Dan seperti yang kau lihat aku bahagia, ya aku benar-benar merasa sangat bahagia.  Kau tidak perlu iri padaku.  Aku telah melewati semua itu.  Coba kau ingat-ingat bukankah disepanjang perjalanan mu, kau berjumpa Perih dan Sedih.  Kesabaran yang kau punya dan ketegaran yang dekap erat.  Kini lihatlah kau sekarang ada bersama ku.  Muara segala sumber kebahagiaan.  Tidakkah kau sadari itu kecewa?.  Kau sekarang menjelma menjadi sosok yang ber-Bahagia.


by : Tsurayya Az-Zahra
Selesai bersama mendung mengawali surya membenam diri keufuk barat.
Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
Jum’at, 08 April 2011 / 04 Jummadil Awal 1432 H

Rabu, 13 April 2011

Titian Indah Cinta

Pagi yang awalnya cerah, tertutupi awan mendung kelabu.  Desiran angin kelembapan, menyibak helai demi helai daun pohon akasia. Berjejer nan rapi dihalaman muka sekolah SMA Taman Siswa.  Tet... tet... tet... Bel istirahat bergema seantero sekolah.  Hulu hilir siswa meniti koridor.  Ada yang menuju perpustakaan,    ada pula yang menuju kantin.

"Khadijah.....". Panggil makhluk imut berjilbab putih.
"Eits.... gak usah dilanjutin aku sudah tahu, kekantinkan?".  Seloroh Khadijah pemilik rambut ikal sebahu, menghentikan Ashifa melanjutkan ucapannya.
"He.... he.... tahu aja kamu". Ashifa tersenyum.  Terlihat lesung pipi yang ada dikedua pipinya.  Ia begitu riang.  Khadijah mengerti keinginannya.
"Ya sudah, yuk". Ajak Khadijah seraya menggamit lengan Ashifa.

Melewati pintu ruang kelas IPA.1, yang merupakan kelas kebanggaan mereka berdua.  Baru dua langkah kelas mereka tinggalkan, Khadijah mendadak menghentikan langkah.
"Tunggu sebentar Fa, sepertinya ada yang terlupakan".  Pinta Khadijah.
"Oh, iya.  Kamu tunggu disini sebentar ya, enggak lama kok!".  Lanjutnya.
Tidak lama kemudian, makhluk jangkung dan kurus itupun kini telah kembali
"Kamu pergi kemana?".  Tanya Ashifa.
"Ke kelas IPS.1, ada amanah dari teman".
"Amanah apaan?.  Kayaknya penting banget".  Selidik Ashifa, dipenuhi keingintahuan yang membuncah.
"Ada deeh....".  Jawab Khadijah.  Membuat rasa keingintahuan Ashifa kian bertambah.
"Buruan yuk kekantinnya.  Nanti jam istirahat keburu habis.  Udah nggak usah dipikirin, nanti kamu juga bakalan tahu sendiri kok Fa".  Terang Khadijah, mengalihkan pembicaraan.

Sepiring lontong sayur milik Ashifa, semangkuk mie ayam pesanan Khadijah telah terhidang dimeja, menunggu untuk disantap oleh keduanya.  Sepuluh menit jelang bel masuk, keduanya tengah berjalan menuju kelas.
"Alhamdulillah... cacing didalam perut berhenti juga berdemo".  Ucap Ashifa seraya mengelus-elus perutnya.
"Ashifah... Ashifah..., emang cacing didalam perutmu itu bisa demo juga?".  Khadijah memperolok Ashifa.
"Ya, iyalah... masa ya iya dong.  Gak cuma Mahasiswa sama rakyat aja yang bisa demo minta diturunin harga BBM".  Timpal Ashifa.
"Klo udah tiba waktunya makan, tapi kitanya juga belum makan.  Pastinya mereka bakalan brontak". Lanjutnya.
"Ehm... masuk akal juga".  Khadijah membenarkan.

Ruang kelas IPA.1. Meja baris kedua dari pintu masuk, meja nomor urut pertama. Kedua sahabat itu asyik ngobrol, menanti bel masuk pertanda istirahat usai.
"Fa, kamu mau tahukan kepentingan yang tadi aku maksudkan".  Khadijah kembali teringat.
"Iya".  Sambut Ashifa antusias.
Khadijah merogoh saku.  Tangan ia keluarkan dari saku, menggenggam sesuatu.  Sesuatu itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah surat tersampul amplop merah muda.  Suasana kembali hening.  Yang memang hanya ada mereka berdua.  Khadijah meraih tangan Ashifa.
"Nih, untukmu".  Amplop surat merah muda, Kahdijah genggamkan ketangan Ashifa yang Ia raih. Jari-jemari Ashifa gemetar.  Perlahan Ia tarik kembali tangannya.  Panas dingin sekujur tubuhnya.  Dag... dig... dug... detak jantung semakin cepat memacu.  Galau, takut, cemas dengan apa yang ada dihadapan.  Tak mampu jua Ashifa sembunyikan.  Seberapapun kuat Ia melawan, namun rasa itu semakin enggan padam, berhenti dan tenang.  Semua tampak tergambar jelas pada raut wajah oval miliknya.

"Kamu kenapa Fa?".  Khadijah keheranan.
"Ti....dak... tidak kenapa-kenapa kok". Ashifa mengelengkan kepala.
"Pertama, nih surat sampulnya merah muda.  Trus udah gitu yang ngasih cowok pula.  So, apalagi klo bukan surat cinta". Goda Khadijah.  Ashifa tak ambil pusing terhadap perkataan Khadijah. O...o... bertapa terkejutnya ia tatkala merentangkan amplop.  Lengkungan garis membentuk hati, yang ditengahnya bertuliskan Dear Ashifa.  Tak kuasa Ia melanjutkan.  Niat membuka amplop Ashifa urungkan.  Buru-buru surat ia masukkan kedalam tas.

"Lho.... kok nggak dibaca?".  Reaksi Khadijah kaget.
"Maaf, sebaiknya tidak untuk saat ini".
"Terserah".  Kedua bahu Khadijah terangkat mengiringi ucapannya.

*****


Letih dan peluh menghinggapi sekujur tubuh.  Ashifa merebahkan diri ditempat tidur.  Seolah tiada kuasa menolak kehendak mata yang saat ini ingin terlelap.
"Astagfirullahal'adzim...".  Ashifa tersentak bangkit dari peraduan.  Matanya melirik jam tangan yang masih melekat ditangan.  Pukul empatbelas lewat sepuluh menit.  Tidak diduga, cukup lama Ia terlelap.  Bergegas Ia mengganti pakaian seragam dengan pakaian kesehariannya. Menuju kamar mandi dan berwudhu.  Pikiran dan hati Ashifa kini telah kembali tertata. Wajahnya kembali fres seperti sediakala.  Tak ada lagi lukisan gundah gulana mewarnai raut wajah.  Dengan penuh kekhusyukan sholat dzuhur Ashifa jalankan.  Mukena miliknya kini terlipat rapi.  Seruan bunda, membuka pintu kamar perlahan.
"Shifa, ayo turun makan".
"Ok, bunda".  Sahutnya semangat.
Usai rutinitas membantu sang bunda, Ashifa kembali kekamar.  Amplop surat merah muda ada digenggaman.  "Tapi, ah... sebaiknya aku lupakan".  Surat itu Ia letakkan tepat disela-sela buku agenda biru tua.  Tempat dimana skejul masa depan Ia rancang.  Keingngintahuan identitas si pengirim nampaknya akan tetap Ia pendam.

*****

Dua tahun berlalu.  Masa-masa ceria dikala SMA telah jauh tertinggal.  Target memasuki Akademi Kedokteran Unggulan berhasil Ia raih.  Senyum Ashifa mengembang.  Duduk dikursi menghadap meja belajar.  Jari-jemarinya menyibak lembar demi lembar agenda bersampul biru tua.  Diantara ibu jari, telunjuk dan jari tengah terselip sebuah pena.  Mengayun langkah mengikuti gerak jari-jemari.  Handphone Ashifa berderit, ada panggilan masuk.

"Hallo.... Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikumssalam".
"Apa kabar Fa?".
"Alhamdulillah baik Ja".
"Fa, afwan ana mau tanya.  Masih ingat nggak sama mas Hanafi?".
"Mas Hanafi yang satu sekolahan sama kita dulu itukan. Memangnya kenapa Ja?".
"Begini Fa, dulu ana pernah ngasih surat untuk kamu.  Itu loh... yang amplopnya merah muda".
"Iya, aku ingat".
"Apa sudah kamu baca?".  Khadijah kembali menanyakan.
"Belum Ja.  Itu sudah lama berlalu.  Lagi aku sudah lupa menaruhnya dimana".
"Astaga.  Jadi, apa isinyapun kau sama sekali tidak tahu".  Khadijah terkejut.
"Tidak.  Aku bahkan sama sekali tak ingin tahu.  Tak ingin kuracuni hatiku, untuk kemudian terjerat cinta yang diragukan kehalalannya.  Ku hanya ingin berlabuh pada titian indah cinta,  senantiasa Alloh ridho dalam setiap pengamalannya".

"Jika benar, demikian ukhti harapkan?  Segeralah temukan surat yang sama sekali belum ukhti ketahui apa maksud dan tujuannya itu.  Insya Alloh, disana mungkin akan ukhti temukan jawaban."
Ashifa mengerenyitkan dahi.  Ia bingung maksud perkataan disampaikan oleh Khadijah.
"Ana paham, ukhti sedang bingung.  Nanti pabila telah ditemukan, ukhti akan mengerti maksud atas segala ucapan.  Assalammu'alaikum ya ukhti".
"Wa'alaikumussalam".  Telephone terputus.  Suara Khadijah menghilang.

Kebingungan kian menerpa dirinya.  Kalimat ucapan terakhir Khadijah terngiang-ngiang, berulang melintasi fikirian.  Jari-jemari Ashifa terhenti pada halaman tengah agenda.  Ia tertegun.  Baru saja diperbincangkan, surat yang dimaksud pada akhirnya ditemukan.  Tergerak ia ingin mengetahui apa gerangan isi termaktum dalam surat tersebut.  Tulisan bagian depan amplop tetap sama, seperti saat pertama ketika ia lihat.  Amplop surat ia balik.  Tempat dimana tertera nama sang pengirim.
"Ha..ha..hanafi.......".  Ashifa tergagap mengeja huruf satu persatu.  Kontan ia pun terkejut.  Tubuhnya sontak bergetar hebat.  Hati  penuh debar.  Beragam tanya memenuhi relung jiwa.  Hadirkan kembali nuansa dulu yang pernah tercipta.  Tak disangka apalagi menduga.  Pada akhirnya kenyataan itu kini hadir kembali didepan mata.  Membangunkan kembali memori dirinya semasa SMA.  Dulu mungkin hati masih dapat dicegah.  Kala definisi cinta terpasung jauh kedalam sukma mengalahkan harap dan cita-cita.   Isi  surat ia keluarkan.





Menjumpai Ashifa
Yang saya hormati


Assalammu'alaikum wr. wb.

Maaf, bila gerangan kehadiran surat ini mengusik kedamaianmu ukhti.  Semoga apa yang saya sampaikan tidak mengurangi luhurnya niat, tulusnya harap.  Dan semoga sedianya pintu maaf dibukakan bagi yang menulis dan juga yang membacanya.
Bila hati tercemar cinta, jihad pulalah peredamnya.  Namun, bila rasa itu tiba ciptakan mimpi terangkai menjelma nyata. Kebaikan apa gerangan hendak diperbuat ?. Segala upaya telah ku coba, hanya inilah yang dapat menjadi penengah.  Dan semoga maksud baik inipun adalah jawabannya.  Ashifa, bersediakah kau mengarungi titian indah cinta-Nya bersama denganku?.  Kutunggu jawabanmu.  Harapku terbentang luas untukmu.

Wassalam wr. wb.
Hanafi




Ashifa menitikan air mata.  "Subhanalloh.." desahnya.  Sama sekali ia tiada menduga, dikala kalangan remaja terlena dalam jeratan trend pacaran. Hanafi justru lebih berani berkomitmen. Kekeguman akan sosok mantan ketua OSIS siswa IPS.1 soleh nan karismatik serta pekerja keras, Hanafi tak mampu ia rengkuh.  Dikala anak-anak sebayanya asyik berfoya dengan uang orang tua, tidak dengan Hanafi.  Ia justru memilih bekerja membantu mengurus pabrik roti milik  ayahandanya. Semua telah berlalu, meninggalkan sesal. Buru-buru bulir bening telanjut mengalir itu ia seka.  Lembaran surat kembali dimasukan.  Akan tetapi, jemarinya terhenti.  Tersandung sesuatu. Ia tarik keluar. Lelehan bening kembali meleleh. Rupanya benda itu adalah sebuah cicin. "Cincin inupun kini tak berarti apa-apa". Desah Ashifa pilu.  Tanpa ada maksud apa-apa cicin tersebut ia kenakan pada telunjuk kiri.

”Biarlah kunikmati sisa-sisa kebahagiaan ini barang sejenak.  Maafkan aku hanafi, telah berburuk sangka sejak semula padamu”.

*****

Perkuliahan menamapaki semester enam.  Pinangan anak Pak Camat Desa Sukaremi, terus menanti jawaban Ashifa.  Hingga kini, belum kunjung ia menemukan ketetapan hati.  Abangnya Rizal belum pula menikah.  Manalah mungkin kuasa Ia mendahului.
"Ah... andai saja gadis pinangan abang tidak ngotot memilih melanjutkan studi S.2, baru setelahnya menikah.  Abang tentu kini berbahagia".

*****

Ba'da dzuhur cahaya terik mentari menghujam tepat ubun-ubun kepala.  Ashifa berdiri menghadap papan pengumuman.  Seragam putih, almamater putih kebagaan dengan setumpuk buku terpangku ditangan.  Ia pun berbalik melangkah dan ups......
Brek... brek..... Buku-buku berjatuhan.  Agenda biru tua yang tadinya ditaruh paling atas buku-buku lainnya ikut pula tercecer.  Tanpa sengaja Ia menabrak seorang gadis.
"Astagrirullahal'adzim.  Afwan dik saya kurang hati-hati".  Demikian Ia panggil, sebab gadis tersebut nampak jauh lebih muda ketimbang dirinya.
"Sama-sama mbak, saya juga mohon maaf kurang berhati-hati".  Pinta gadis yang mengenakan jilbab krem itu, menyerukan hal serupa.
"Kenalkan saya Ashifa."  mengulurkan tangan pertanda perkenalan.
"Neni".  Menyabut uluran jabat tangan Ashifa.
"Ada yang hilang dik bukunya?". Ashifa menanyakan.
"Alhamdulillah semua komplit.  Syukron mbak, tapi saya harus buru-buru pergi".
"Afwan". Ashifa kembali beranjak pergi.

Keesokan harinya. Rizal menghampiri Ashifa yang saat ini tengah duduk diteras.  Rizal menyampaikan sesuatu pada Ashifa.  Ia nampaknya serius.
"Dik abang mohon untuk yang satu ini jangan kau tolak ya?".
"Loh.. kok begitu".
"Pastinya.  Sebab dia bilang kau telah menerima pinangannya".
"Gimana bisa bang, shifa aja sampai sekarang belum memberi jawaban apapun.  Dan kalaupun iya, mana mungkin shifa mampu mendahului abang.  Shifa ingin abang terlebih dahulu menikah". Jelas Ashifa.
"Siapapun lebih dulu bukan masalah.  Jodoh sudah ada yang atur.  Cepat atau lambat, semua telah ada ketetapannya.  Satu hal adikku, niat baik haruslah disegerakan".
"Besok dia akan kemari meminangmu secara resmi.  Ingat kau harus hadir".  Rizal mengusap-usap kepala ashifa dengan penuh kasih sayang.
Apa yang dikatakan abangnya benar.  Niat baik tidak boleh ditunda.  Ashifa tak kuasa membendung air mata.  Abangnya begitu berbesar hati, ridho dan rela didahului menikah oleh dirinya.  Hari dijanjikan tiba.  Perasaan Ashifa diliputi berjuta tanya.  Siapa gerangan orang yang dimaksud abangnya, pria yang lamarannya ia terima.  Berulang kali mencoba mengingat, akan tetapi tak ada satupun tertemukan jawab.

"Assalammua'alakum".  Seru seorang gadis tatkala membuka pintu kamar Ashifa.
"Wa'alaimussalam.  Neni..., kok kamu ada disini?".  Ashifa terheran.
"Udah nanti aja Neni jelasinnya.  Yuk mbak ikut Neni sebentar.  Ada yang mau Neni perlihatkan sama mbak?".  Neni menggamit tangan Ashifa menuju teras depan, melewati ruang tamu.  Dikursi tamu tampak abangnya Rizal berserta ayah dan bunda tengah berbincang dengan lima orang.
"Ha.... hanafi".  Seru Ashifa pelan keragu-raguan setibanya diteras.
"Assalammua'alakum".  Sapa pemuda tinggi berbaju koko biru muda menelungkupkan tangan kedada.
"Wa'alaimussalam".  Sahut Ashifa seraya melakukan hal yang sama.
"Mbak tunggu disini sebentar ya, ada sesuatu yang harus Neni kembalikan pada mbak".
"Ini milik mbak".  Neni menyodorkan buku tebal sampul biru tua.  Yang sama sekali tidak ia duga sebelumnya bahwa buku keduanya telah tertukar akibat insiden saat keduanya pertama bertemu.
"Sebelumnya Neni minta maaf mbak.  Tak terbesit sedikitpun niat bermaksud lancang membaca agenda pribadi mbak.  Pada saat Neni ingin menyusun kembali buku-buku, ada sesuatu yang terjatuh dari agenda.  Neni berniat mengembalikan ketempat semula tersibak halaman yang bertuliskan, “andai kesempatan masih ada?”.  Saat itu Neni tersadar buku itu bukanlah buku Neni.  Amplop yang terjatuh Neni taruh kembali. Pada sampul bagian amplop tertera nama mas Hanafi. Namun lagi-lagi neni urungkan.  Amplop yang telah terbukapun neni baca. Tulisan tangan itu tidak lain adalah tulisan tangan mas Hanafi.  Merasa belum yakin, surat itupun neni tunjukan pada mas Hanafi.  Dan setelah dilihat, mas Hanafi pun mengiyakan".  Cerita Neni pada Ashifa.

"Mbak tentu heran, kenapa saya dan mas hanafi ada disini.  Ini semuanya berkat abangnya mbak, mas Rizal.  Boleh jadi, ini adalah skenario Alloh yang dirancang untuk mbak.  Mas Hanafi dan mas ternyata saling kenal satu sama lain.   Akhirnya hari inipun terjadi".  Lanjutnya.

"Subhanalloh...".  Lafaz Ashifa.  Mensyukuri betapa besar nikmat karunia yang diberikan Alloh kepada dirinya.  Hanafi yang dulu ia kenal memang benar-benar kini ada dihadapannya.  Ashifa sama sekali tiada mengira gadis yang dulu ia tabrak ternya adalah adik hanafi.
"Saat ini kuingin kembali mengulang kembali kalimat yang dulu pernah ku ucap.  Ashifah, bersediakah kau mengarungi mahligai titian indah cinta beriring denganku?".  Ucap Hanafi mengambil alih pembicaraan.  Suasana sejenak hening.  Shifa menundukan pandangan seraya menarik nafas dalam.  Diawali basmallah.  Dan ia berujar.
"Tentu".  Balas shifa penuh keyakinan.
Akad   berlangsung penuh khidmat, dikala lafaz qobiltu telah terucap.  Cicin yang semula menempati jari telunjuk berpindah menghiasi jari manisnya yang kosong.  Kebahagiaan membahana.  Do'a selamat sanak saudara terdekat mengawali keduanya mejalani hari-hari mengarungi titian indah cinta.  Satu kehidupan telah berlalu, saatnya kehidupan baru bernama mahligai rumah tangga siap menguji keduanya dalam mengarungi nahkoda biduk pernikahan.  Karam ataukah selamat sampai tujuan.  Tercapainya keluarga sakinah ma waddah wa rahmah.  Mereka jualah menjadi penentu. 


Selesai


By : Tsuraya Az-Zahra
Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
Rabu, 04 Juni 2008
29 Jumadil Awal 1429 H