Oleh : Habiburahman El-Syirazi
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institute paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tetang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada sang pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendiri, kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S1 dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk dibangku kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga.
Kenapa juga ketika selesai S1 ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, teman satu angkatannya si Yuyun menawarkan kakaknya yang buka kios pakaian dalam di Yogya. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam.
Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Yogya. Akhirnya ia menikahi seorang santriwati. Apa yang sebetulnya ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia meneteskan airmata.
Matanya berkaca-kaca. ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Bagi dirinya dan juga anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya. Umurnya sudah tak muda lagi 34 tahun, sedangkan semua teman-temannya sudah memiliki anak. Dan mahasiswi yang ia bimbing pun sudah banyak yang menikah.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang untuk melamarnya. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang.
Dan ia pun sudah sangat tahu keputusan apa yang akan diambilnya. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc, dekan fakultas teknik, ia orang nomor satu di fakultas tempat ia mengajar. Duda berumur 45 tahun. Status dan kredibilitasnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Disemarang saja ia punya 3 pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia susah untuk menjelaskannya. Ia harus berkata bagaimana.
Lima menit kemudian rombongan pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orang tuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari yang sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah.
Rombongan pak Karman datang dengan empat mobil. Ia harus mengakui kehebatan Bu Merlin teman satu kerjanya dikampus mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah Ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orang tuanya cukup luas.
Lima belas menit basa basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
“ …dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri bapak untuk saudara kami bapak Karman. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan. ”.
Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata,
“ Pertama…tama, ka…kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga bahagia. Bagi kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami membalasnya dengan penghormatan yang lebih baik. Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dan bisa memutuskan sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan. ”
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat kearahnya. Ia tahu bola sekarang ada ditangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. Ia berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argument mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
“ Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw, pernah bersabda, ‘ Al ‘ ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gesa itu datangnya dari setan! ’ saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya 3 hari kedepan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang. ”
Ada sedikit guratan kecewa pada wajah pak Darmanto dan pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi. Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan air mata mendengarkan jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu kemana arah perkataan putrinya itu.
Tepat setelah 3 hari kemudian, Zahrana sudah memutuskan apa yang harus dilakukannya untuk menjawab lamaran pak Karman. Ia menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:
Kepada Yth.
Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu ’ alaikum Wr. Wb.
Semoga bapak senantiasa sehat dan berada dalam naungan hidayah-Nya. To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum dan mohon maaf jika tidak berkenan.
Wassalam, Dewi Zahrana.
Lalu ia mengeprint surat itu dan memasukkannya dalam amplop putih. Ia akan minta mahasiswanya menyerahkan kepada Pak Karman besok pagi.
|
“ Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku! .”
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya.
Lalu ia mendapatkan sms dari Bu Merlin:
“ Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu! ”
Airmatanya meleleh.
“ Maafkan aku Bu Merlin, ” lirihnya dengan hati perih. Ia merasa dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk kuat dan tegar di jalan-Nya.
Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampus itu berkata,
“ Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu. ”
“ Bu tolong ibu juga mengerti saya. Karena saya benar-benar tidak bisa menerima pak karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok pak Karman justru menjadi monster menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak mencintainya Bu. ”
“ Kalau masalahnya cinta tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang bisa memaksanya. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Sekedar saran dariku lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi dimana ia berpijak. ”
“ Apa Bu? Mundur? ”
“ Iya Zahrana. Sebaiknya kau mundur saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus. ”
“ Tidak Bu. Jika terjadi ketidak adilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan! ”
“ Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa pak Karman. Jika nekat itu ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenanganan yang sudah saya cium dari sekarang. ”
Akhirnya Zahrana mengerti maksud Bu Merlin. Dari nada dan tutur katanya ia melihat ketulusan dan kesungguhan. Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah.
“ Baik Bu. Saya mengerti akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih. ”
Zahrana mencari tahu kepada teman-temannya di kampus akan sikap pak Karman. Ia menceritakan masalahnya pada sahabatnya yang sama-sama bekerja di fakultas itu. Dari jawaban itu ia semakin yakin keputusan apa yang akan diambilnya. Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa 2 buah surat pengunduran dirinya. Satu untuk Rektor dan satunya untuk Dekan. Pak Karman sedang rapat dengan Rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen terkejut dengan keputusannya mundur. Tapi ia beralasan keinginannya untuk mencari suasana kerja yang baru. 15 menit kemudian mahasiswanya menghampiri Zahrana, mereka kaget mendengar keputusannya untuk mundur.
Kepada mereka Zahrana menjelaskan alasannya mundur. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barang-barangnya keluar gedung. Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barang-barangnya. Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali keruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, diantaranya: tidak disiplin.
“ Perawan tua itu harus diberi pelajaran! ”Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk dikursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika itu meluap.
“ Kurang ajar! ”
Seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tiba-tiba malah ia yang dipukul KO. Sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu. Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satu-satunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang professional untuk mendongkrak prestasi. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima. Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas. Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri.
Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab dari kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mahasiswa. Bagi para santri ilmu eksak tidak begitu di anggap penting karena kelak tidak akan ditanya di akhirat. Bagi mereka yang terpenting adalah ilmu agama. Pikiran yang perlu diluruskan. Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya.
Hari-hari yang dilaluinya disana lebih tenang dan tentram. Ilmu S2nya ia rasa tidak benar-benar hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan property. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya. Mahasiswanya yang bernama Hasan sering datang padanya karena tugas akhirnya berada dibawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar tugasnya diambil alih oleh dosen lain. Hasan dan teman-temannya sering berkonsultasi dan meminjam referensi padanya. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri. Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya Zahrana membuka kcomputer. Ia hendak berselancar di dunia maya Internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya. Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering beberapa kali. Ada 3 sms yang masuk. Ia membukanya:
“ Sedang apa perawan tua? ”
“ Ternyata jadi perawan tua itu indah. ”
“ Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk dikerubung lalat! ”.
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah terror. Terror yang paling primitive, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. Ia tidak mengenal nomor si pengirim. Ia nyaris membalas sms pedas itu, tapi ia urungkan niatnya. Ia sudah bisa menduga darimana asal sms itu. Internetnya sudah konek. 5 email masuk berasal dari teman-teman sesama dosennya. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya. Hpnya kembali berdering. Dua kali, ia buka :
“ Apa kabar perawan tua? ”
“ Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua! ”
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkas untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang yang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia lebih memilih asyik berselancar di dunia maya.
Ia membuka emailnya. Dan satunya email masuk dari Pak Didik rekan sesama adosennya. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya. Ia membuka email yang bersubjek: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
Ia lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud oleh Pak Didik, yang celananya selalu diatas mata kaki itu?
Assalammualaikum Wr. Wb
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya inimengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengirim email sebuah tawaran untuk Ibu. Maaf saya terpaksa menyampaikannya lewat email, sebab jika saya sampai kan langsung secara lisan terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan biasa diedit sementara bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang ibu. Juga apa yang ibu cari selama ini saya memberanikan diri untuk mengajukan diri untuk menjadi suami Ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu untuk menjadi istri kedua saya. Saya yakin istri pertama saya bisa menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang saya inginkan adalah istri yang educated dan cerdas seperti Ibu. Bukan istri yang hanya bisa arisan seperti istri saya saat ini. Tapi karena sudah punya 2 orang anak saya tidak bisa menceraikannya.
Saya kira cukup sekian dulu surat saya ini. Jika ada salah kata mohon maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi manfaat. Itu saja.
Akhirul kalam,
Wassalam
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang jelas ia bukan bahagia. Ia merasa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susahnya menjadi wanita.
Jika pak Didik tidak memiliki istri mungkin ia masih bisa membuka harapan dihatinya. Tapi ia akan dijadikan istri kedua. Ia tidak tega dengan istri pak didik yang pertama. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri belum siap atau lebih tegasnya tidak siap untuk menjadi istri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan jawa pada umumnya, yang benar-benar tidak siap, atau lebih tepatnya tidak mau dijadikan istri kedua.
Selesai membaca email itu Zahrana langsung menghapusnya tanpa membalasnya, ia menganggap email itu tidak pernah ada. Dari hari kehari Zahrana menanti jodohnya yang cocok dengannya tak jua datang, sang ibu menyarankan sebaiknya ia meminta bantuan pada pemilik pesantren untuk mencarikan jodoh untuk dirinya. Zahrana memikirkan saran dari ibunya, ia lalu memutuskan untuk menemui pemilik pesantren itu. Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan. Bu Nyai Sa ’ adah adalah istri Kyai Amir pemilik pesantren Al Fatah.
“ Ada yang bisa Ummi bantu, anakku? Oh iya siapa namamu, anakku? ” Tanya Bu Nyai.
“ Nama saya Rana, ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya kemari pertama untuk bersilaturahmi, dan yang kedua untuk mohon tambahan doa dari ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi. ” Terang Zahrana dengan kepala menunduk.
“ O begitu. Ya, jadi kau guru baru itu! ”
“ Iya Ummi. ”
Dengan bantuan Lina temannya, ia menjelaskan kedatangan mereka pada Nyai untuk meminta bantuan mencarikan jodoh buat Zahrana. Kemudian Nyai menanyakan pendidikan Zahrana, Nyai terkejut ternyata latar pendidikan akademis Zahrana tinggi. Nyai berpikir sejenak, raut wajahnya sedikit bingung.
“ Saya yakin tidak mudah mencarikan jodoh yang selevel denganmu, anakku. Jujur saja kalaupun ada yang setara dengan nak Rana pastinya dia lebih memilih yang lebih muda. Lelaki pada umumnya punya ego. Mereka tidak mau punya istri yang lebih pintar dari dirinya. ”
“ Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anaknya. Itu saja. ”
“ Oo, baiklah kalau begitu. Besok kau telpon aku ya. Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai. Semoga ada pandangan. ”
“ Baik Bu Nyai. ”
Keduanya lalu pamit. Rana dan Lina pulang diliputi rasa gembira. Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati. Ia bergegas menuju ruangan kepala sekolah. Kepala sekolah memintanya untuk menghadap Bu Nyai. Zahrana langsung tahu kenapa ia dipanggil Bu Nyai. Ia pergi menuju rumah Bu Nyai.
“ Duduklah anakku ”
Ia duduk dengan kepala tertunduk.
“ Begini anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah 3 tahun meninggalkan pesantern ini. Namanya Rahmad pendidikannya hanya tamat Madrasah Aliyah. Ia memiliki akhlak yang baik dan baik pula ibadahnya. Pekerjaannya sekarang adalah penjual kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal 1 tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkan dulu dengan kedua orang tuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik. ”
“Baiklah, ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarahkan dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan. ” Jawab Zahrana.
“ Ya. Semoga barakah, Anakku! ”
Zahrana berjalan kekelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai, ia memikirkan apa memang jodohnya adalah seorang penjual kerupuk keliling. Sesampai dikelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang kerumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah. Sesampai dirumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.
“ Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikan atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia dimata manusia. ”
Demikian kata ibunya. Ia mulai mantap hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkannya ia pun shalat istikharah. Setelah istikharahpun ia semakin bertambah mantap. Hari itu juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapan hatinya.
“ Baiklah jika anakku sudah merasa mantap dan yakin, Rahmad besok akan aku minta untuk berjualan di sekitar rumahmu. Kau belilah kerupuk darinya dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apa-apa. ”
“ Baik Bu Nyai. ”
Jawabnya Keesokan harinya Zahrana tidak kemana-mana sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu diruang tamu. Sesaat kemudian ia mendengar penjual kerupuk berteriak-teriak. Ia menghentikannya, ia kaget bukan main. Pria penjual kerupuk itu sudah tua kira-kira berumur kepala lima. Zahrana sedih dan kecewa, apakah memang ini orang yang dipilihkan Bu Nyai dan Pak Kiai untuknya. Ia menghubungi teman baiknya, Lina. Dan menceritakan semuanya, kenapa tega Bu Nyai memilihkan pria untuknya yang seperti itu. Apa memang ia pantas mendapatkannya.
“ Tenang Rana. Kau sudah Tanya sama Pak Tua itu namanya? ”
“ Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya. Aku sudah shock duluan tahu penjualnya sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan. ”
“ Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu. Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Kau tunggu saja. Pokoknya kamu jangan kemana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami saleh harus sabar ya. ”
Lina berusaha menenangkan dan menguatkan. Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. Ia yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu.
Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar. Baru saja akan masuk, ia mendengar suara nyaring. Penjual kerupuk yang ditunggu-tunggunya. Ia terpejerat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu dipanggilnya. Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu membuka topinya dan mengibas-ibaskan ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terpejerat. Masih muda dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona dirinya. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu. Zahrana membeli beberapa ribu kerupuk darinya. Kemudian ia membayarnya, sesaat setelah memberikan uang kembalian, Zahrana memanggilnya.
“ Ya Bu, ada apa? Apa uang kembaliannya kurang? ”
“ Tidak kok mas. Mau Tanya, sudah lama jualan kerupuknya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah sini. ”
“ Iya Bu. Sudah lama. Saya baru jualan didaerah sini. Biasanya didaerah Puncang dan Penggaron saja, ”
“ O. ini cari langganan baru ya? ”
“ Bisa iya, bisa tidak Bu. Biasanya jualan saya sudah habis di timur jadi tidak perlu kesini. Saya jualan kesini hanya karena diminta Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah sini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja. Besok-besok terserah. ”
Jantung Zahrana berdegub kencang. Azan Maghrib mengalun.
“ Boleh tahu, siapa nama Mas? ”
“ Saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya mau cari mesjid untuk sholat maghrib. ”
Zahrana kemudian masuk kedalam rumah dengan hati yang tenang dan bahagia. Sang ibu memperhatikan wajah anaknya yang bersinar bahagia. Beliau menggoda Zahrana.
“ Cakep orangnya Ran? Kau cocok? ”
“ Ah Ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain kita musyawarahkan! ”
“ Iya. Iya. Baik. ”
Setelah semuanya dikroscek kepada Pak Kiai tentang pemuda yang dimaksud, adalah memang dia. Zahrana mempertimbangkannya, selama tiga hari itu ia semakin mantap dan yakin dengan keputusannya, ia pun kemudian menghadap kedua orang tuanya dan Pak Kiai serta Bu Nyai.
Saat Rahmad diberitahu, awalnya setelah mengetahui latar belakang kehidupan Zahrana ia merasa minder. Kemudian setelah diyakinkan Pak Kiai bahwa Zahrana mencari suami bukan dari status atau pun pendidikannya melainkan dari iman dan akhlaknya, Rahmad menerima tawaran Pak Kiai untuk menikahi Zahrana.
Ia semakin yakin setelah tau Zahrana adalah sosok wanita shalehah, karena wanita salehah tidak akan menganggap rendah suaminya yang berbeda jauh status dan pendidikannya. Pernikahan itupun telah ditetapkan. Zahrana mengundang semua teman kantornya yang dulu dikampus serta beberapa mahsiswa yang dekat dengannya. Untuk mahasiswanya ia hanya mengundang Nina dan Hasan, yang selama ini telah dianggapnya sebagai adik. Tapi keduanya tidak dapat hadir karena Nina menikah dan Hasan melanjutkan kuliahnya ke Malaysia.
Ia juga mngundang Bu Merlin tetapi tidak Pak Karman. Ia tidak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak ia suka itu. Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang dikampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.
“ Jangan sebut aku Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu! ” Geramnya sambil memukul meja diruang kerjanya.
Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin muslimah hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik terkemuka dikota Solo. Sore itu, ia mencoba gaun itu dikamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,
“ Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain. ”
Hatinya berbunga-bunga. Ia bahagia. Jika boleh ia masih ingin meminta akad nikah dipercepat lagi saja. Ia ingin mengatakan pada dunia bahwa ia berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anak yang menjadi penyejuk jiwa.
Tiba-tiba hpnya berdering. Satu sms masuk,
“ Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kau kembalikan saja. Kau tak akan memakainya dihari pernikahan yang telah kau tentukan. Kau masih akan menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap dilamar banyak orang dan bisa dengan semena-mena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya. ”
Ia kaget. Sms berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapi sms terror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh otang yang mengirim sms kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalasnya,
“ Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia! ”
Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna. Besok acara pernikahan itu akan dilangsungkan. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian kejar-kejaran. Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pernikahan dilantunkan.
Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin membantu tapi ia malah diminta untuk beristirahat saja. Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar. Ia tertidur dengan pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur dikursi seperti patung. Linalah yang membangunkanya.
“ Ada apa Lin? ” tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya. Lina yang ia tanya malah menangis.
“ Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana! ”
“ Ada apa Lin dengan Rahmad? ” Lina tak menjawab hanya air mata dan isak tangisnya semakin keras. Paman Rahmad yang ternyata ada disitu menjawab.
“ Rahmad telah tiada, anakku! Rahmad meninggal dunia! ”
“ Apa!!? ” ia kaget bagai tersambar listrik beribu-ribu volt.
“ Rahmad mati tertabrak kereta api! ” lanjut Paman Rahmad.
“ Oh tidakkkk ” Zahrana menjerit histeris. Setelah itu ia pingsan seketika.
Para tetangganya bertanya-tanya bagaimana Rahmad bisa tertabrak kereta api? Bukankah seharusnya ia ada di rumah saat esok akan akad nikah?
Paman Rahmad menjelaskan,
“ Habis shalat maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumahnya saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat penting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Ia pergi untuk sekalian membeli peci untuk besok, walaupun telah dilarang keluarganya. Ia pun melarang sepupunya yang hendak menemaninya pergi.
Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Orang-orang di rumah sangat cemas. Kemudian tengah malam ada dua orang polisi datang ke rumah dan memberitahu ada sesosok mayat yang tertabrak kereta api, memiliki KTP bernama Rahmad. Dan memang benar mayat itu adalah Rahmad. ”
Keesokan paginya bukan pesta pernikahan yang diadakan melainkan upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagi lagu bahagia, tak ada lagi senyum dan canda. Yang ada hanya airmata. Zahrana akhirnya dibawa Lina kerumah sakit, ia ingin Zahrana menenangkan diri disitu. Ia seperti orang gila yang terus saja berteriak histeris.
“ Ran, aku tau ini berat, tapi aku yakin kamu mampu menghadapinya. Aku yakin. ”
“ Makasih Lin ”
Sesaat kemudian pintu kamar diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dokter itu sangat ramah. Ia memeriksa keadaan Zahrana, ia juga mendengar semua keluhan Zahrana dengan sabar. Sesekali dokter itu menghiburnya. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.
“ Jadi ibu ini Ibu Zahrana yang mengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu? ” Zahrana mengangguk.
“ Berarti ibu mengenal anak saya ya? ”
“ Siapa nama anak ibu? ”
“ Hasan Baktinusa ”
“ Iya saya sangat mengenalnya. Selamat Bu atas wisudanya, ia menjadi Wisudawan yang terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar. ”
“ Iya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang ibu Zahrana. Terima kasih sudah banyak membantu anak saya. ”
“ Sama-sama Bu ”
Bertemu dengan Ibundanya Hasan membuatnya seolah bisa bernafas lega. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan dirinya. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah dalam usia yang sangat terlambat.
Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Jodoh itu terkadang dikejar-kejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Ia yakin Allah sudah menyiapakan jodoh untuknya.
Derita Zahrana ternyata tidak sampai disitu. Tanpa sepengetahuannya, dirumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia meninggal terkena serangan jantung.
Ia sengaja tidak diberitahu sebelum pulang dari rumah sakit. Baru setelah ia tiba dirumah diberitahu bahwa Ayahnya telah tiada , ia menangis namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaannya.
Berita pernikahannya yang tidak jadi karena pengantin laki-lakinya tertabrak kereta api dimuat salah satu Koran jawa tengah. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki oleh kepolisian. Polisi menyelidiki beberapa saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian. Beberapa hari setelah itu seluruh teman-temannya sesama dosen di Fakultas Teknik hampir semuanya datang termasuk Bu Merlin dan Pak Karman.
“ Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima disisi-Nya. Saya harap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kau kembalikan ke Solo! ”
Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah Pak Karman.
Dan bagaimana bisa tahu dimana ia membeli gaun pengantinya. Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada hubunganya dengan sms terakhir pak karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk terror dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba-tiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing. Ia harus bisa mengendalikan dirinya. Ia harus menang. Ia harus tenang.
“ Terima kasih berkenan datang Pak. ” Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.
Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada dibalik kematian calon suaminya. Ia ingin melaporkan kepada polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon calon suaminya adalah pak Karman, atau orang suruhannya. Tapi ia tidak punya bukti. Ia bingung harus berbuat apa. Ia diskusikan kebingungannya pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.
“ Aku yakin Lin, iblis tua itu yang berada dibalik kematian mas Rahmad. Aku yakin! ” kata Zahrana berapi-api.
Lantas ia menunjukkan data yang menguatkanya. Lina menanggapinya dengan kepala dingin,
“ Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti. Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!
” Lina menyodorkan Koran kepada zahrana, “ polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad adalah kecelakaan murni ”
Zahrana membaca dan menghela nafas panjangnya, ia kecewa. Ia teringat nasehat Bu Nyai saat datang belasungkawa,
“ Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang paling berkuasa diatas segalanya adalah Allah SWT. ”
Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya. Selesai Tahajud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan. Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan Ibunya yang duduk dimeja makan itu.
“ Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak. ”
“ Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi. ”
“ Apakah aku masih berkesempatan melihat kau dipelaminan ya Nak. ”
“ Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi. ”
Selesai sahur Zahrana kemudian membaca Al quran. Begitu adzan subuh, ia dan ibunya bergegas kemesjid untuk sholat subuh dan kemudian mendengarkan kuliah subuh. Habis dari mesjid Zahrana mengajak ibunya untuk berkeliling komplek untuk menghirup udara pagi. Jam tujuh kurang sepuluh ia sudah berada dikantornya untuk mengajar, waktu sepuluh menit ia gunakan untuk membaca Koran. Ia penasaran dengan judul berita: KARENA BERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DIRUANG KERJANYA.
“ Semarang- sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S (55 tahun), dekan Fakultas Teknik Universitas mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya yang selama ini disembunyikannya akhirnya terkuak juga. Ia tewas mengenaskan diruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena istrinya bernama M (24 tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas terkemuka di Amerika itu. Dua mahasiswa suami istri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut….. ”
Zahrana berkata dalam hati, ia merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat akhirnya mendapatkan balasannya sendiri. Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat. Sore itu setelah sholat ashar setelah ia pulang dari warung membeli beberapa bahan untuk memasak, ia terkejut oleh kedatangan Bu Dokter Zulaikha, Ibunda Hasan.
“ Maaf kalau kedatangan saya kesini mengganggu Ibu. ”
“ O nggak apa-apa Bu. ” Sahut Zahrana.
“ Eh..konsultasi apa ya Bu? ”
“ Eh ini. Tentang Hasan, anak saya. ”
“ Ada apa dengan Hasan Bu? ”
“ Maaf sebelumnya Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu zahrana. Begini, dua hari lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu bagaimana? Padahal diakan mau kuliah di Malaysia Bu. ”
Zahrana mengerutkan dahi,
“ Kalau menurut pendapat saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa istrinya dibawa, kalau tidak ya tidak apa-apa toh Malaysia dan Indonesia dekat.
“Apa menurut Ibu Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya Istri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak? ”
“ Menurut saya Hasan sudah layak menikah Bu. Selama saya tahu dikampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri? ”
“ Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan hati melepas Hasan kedunia baru”
“ Mantap saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu. ”
“ Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang diajukan Hasan. ”
“ Semoga saya mengenalnya Bu. ”
“ Maaf sebelumnya Bu, Hasan meminta pada saya untuk melamar Bu Zahrana. Calon Hasan, anak saya itu. ”
Zahrana kaget bagai tersambar halilintar.
“ S…saya Bu? ”
“ Iya Bu. Anak saya ingin menikahi ibu! ”
“ Maaf Bu,mungkin Hasan Cuma bercanda. Saya memperlakukannya sama dengan mahasiswa saya yang lain. ”
“ Nggak Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini. ”
“ Kalau gitu Hasan salah pilih, Bu. ”
Bu Zul tersenyum,
“ Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu? ”
“ Ibu harus percaya pada saya. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Hasan, kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu! ”
Bu Zul geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung tahu maksud dari Zahrana.
“ Saya tidak menuduh ibu. Saya percaya pada anak saya. Saya kemari menunaikan kewajiban sebagai orang tua, saya berjanji untuk membantunya menyunting gadis manapun yang akan dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting ibu saya langsung setuju. Dan saya berharap ibu tidak menolak pinangan ini. Jika Bu Zahrana serius nanti saya akan meminang secara resmi bersama Hasan dan ayahnya. ”
Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Hanya terdiam seribu bahasa.
“ Diam berarti menerima. Saya pamit dulu Bu! ”
Zahrana tersentak mendengar perkataan Bu Zul. Ia berdiri mengantar kepergian Bu Zul.
“ Ibu benar-benar serius? ”
“ Iya ”
“ Hasan juga? ”
“ Iya. ”
“ Kalian sudah tau kekuranganku dan mau menerimaku? ”
“ Iya, tak ada manusia yang sempurna. ”
“ Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat ”
“ Apa? ”
“ Akad nikahnya nati malam ba ’ da shalat tarawih di mesjid. Biar disaksikan semua jamaah. Maharnya seadanya. ”
Kini giliran Bu Zul yang terkejut kaget. Ia tidak menduga Zahrana akan mensyaratkan begitu.
“ Apa tidak sebaiknya setelah Idul Fitri? ”
“ Tidak Bu. Ibu tau cerita saya selama ini. Apa ibu mau saya mati kaku karena tidak jadi menikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Bagi saya lebih baik ya nanti atau tidak sama sekali. ”
“ Baiklah. Tapi saya tidak bisa memutuskan sendiri. Saya harus membicarakannya dulu dengan anak dan keluarga saya. Setelah Maghrib saya telpon.
” Saat Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Setelah shalat maghrib Zahrana mendapat telpon dari Bu Zul.
“ Bu Zahrana keputusan syarat yang Ibu ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara Hasan ya… ”
Suara Hasan di hp Zahrana berubah,
“ Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat Ibu dan semuanya sudah saya siapkan. Kami sekeluarga insyaAllah berangkat sekarang. Dan kami shalat isya di mesjid dekat rumah ibu. ”
“ Kau serius Hasan? ”
“ Iya Bu. ”
“ Kau mencintaiku? ”
“ Iya Bu. ”
“ Kalau begitu jangan kau panggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak? ” Zahrana merasa tak perlu malu.
“ Saya coba….Dik Zahrana, tunggu aku di mesjid.”
” Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada. “ terima kasih. Kita ketemu dimesjid, insyaAllah ”
Zahrana menangis tersedu-sedu. ia kemudian sujud syukur. Pada malam kedua bulan ramadhan bulan yang suci ini, ia akan melangsungkan akad nikah didepan semua jamaah yang ada dimesjid itu.
Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua derita masa lalunya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan ihsan. Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir cintanya yang didendangkan oleh Allah SWT. . . .
Subhanallah . . .
Published : November 2, 2007
“Teruntuk bagi mereka yang tengah harap-harap cemas menanti datangnya jodoh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please come back,,,, ^^