Keluh mengawali kesah. Tak tahan memendam sakitnya rasa. Rasa bersalah dan dipersalahkan. Kecewa memulai bekal pengembaraannya menemui berbagai rasa. Rasa Perih, rasa Pedih, dan rasa Bahagia. Ia bertekad menemukan jawaban atas dirinya. Kenapa harus ia menjadi terdakwa?. Penyebab segala rasa, sumber malapetaka. Sehingga membuat orang lain terluka karenanya. Kecewa menyadari melangkah berarti ia memulai tragedi. Benar saja, belum mencapai setengah perjalanannya Kecewa dihadang Perih. Perih menengadah bungkam. Hening dalam ketidak berdayaan. Hanya ada diam menyelimuti kehampaan.
Kecewa : “Hai, perih? Apa gerangan yang tengah engkau lakukan”. (Kecewa memulai pembicaraan).
Perih : “Pergi kau. Menyingkirlah dari hadapanku. Kehadiran mu membuatku semakin dirundung rasa perih”. (SahutPerih ketus).
Kecewa : “Kenapa kau berkata begitu. Apa salahku padamu?. Hingga kau tega menuduhku demikian?”.
Perih : “Berhentilah berpura-pura. Aku bisa seperti ini, itu karena kau Kecewa. Kau penyebab kenapa aku sekarang Perih”.
Kecewa : “Tap.... tap...tapi.......”
Perih : “Enyahlah kau dari hadapan ku”. (Hardik Perih).
Kecewa pamit bersama persaan tak terima. Berat langkah kembali memulai kisahnya. Sepanjang berjalan batinnya menggerutu. Ingin membela namun tiada daya.
Sedih : “Hu...uuuuuu........ huu....uuuuuuu.......”. (Sedih menangis terisak-isak meratapi keburukan yang tengah dirasakannya).
Kecewa : (Kecewa datang menghampiri. Ia bermaksud untuk menghibur). “Maaf perih, bolehkah aku bertanya?”.
Sedih : “Ya, apa yang ingin kau tanyakan?. Huu...uuuu... hu....uuuuu...... hiks..... hiks..... (Sahut sedih ditengah isak tangisnya).
Kecewa : “Kenapa kau berurai air mata. Dapatkah kau memberitahuku sebentuk rasa itu?”. (Rasa penasaran menggugah hasrat tanya Kecewa).
Sedih : “Waktu seolah terhenti. Seakan tak menemui kehidupan laksana terkunci dalam ruang pengap. Sekuat apapun usaha kau untuk tak tercekat akan membuatmu tetap terjerat. Semakin terpuruk dalam perangkap. Perangkap kesedihan, perangkap gelimangan air mata. Samudra ketidak berdayaan tiada bertepian”.
Kecewa : (Air bergulir terus-menerus membajiri kesedihan. Sedih benar-benar tengah diliputi kesedihan yang teramat dalam. Kecewa tak peduli ia masih harus terus bertanya). Sedih, bolehkah aku tahu apa penyebab kesedihan mu?”
Sedih : “Kau”. (Lantang Sedih berujar. Tatapannya nanar. Menatap tajam Kecewa).
Kecewa : “Aaaa…a..a... ku”. (Kecewa terbata-bata mengulangi ucapan sedih).
Kecewa : “Apa maksudmu dengan mengatakan aku penyebabnya?” (Nada keterkejutan kecewa yang sama sekali tidak terima atas hujatan Sedih padanya).”
Sedih : “Ya. Jika bukan karena kau aku tidak mungkin sedih seperti sekarang ini.” (Sedih kembali menegaskan. Intonasinya mulai meninggi kendati air mata membajiri).
Kecewa : “Tiiidak…. tiiiidak ini tidak mungkin.” (Kecewa hilang kepercayaan diri. Langkah gontainya. Ia pun berlalu pergi meninggalkan sedih bersama kesedihannya).
Mengapa aku?, Kenapa harus aku?. Kecewa terus menerus menanyakan pertanyaan serupa disetiap jengkal lelah langkahnya. Kini Ia semakin jauh meninggal sedih. Tak lama kemudian, disaat pengujung lelahnya Ia menjumpai sesosok yang tak asing baginya. Sesekali tersenyum lalu kemudian tertawa begitulah seteruslah prilaku sosok yang dikenal akrab oleh Kecewa. Setiap saat selalu dengan kebiasaan serupa ternsenyum lalu tertawa.
Kecewa : “Hai, bahagia”. (Sapa kecewa bernada goyah).
Bahagia : “Ah…. rupanya kau Kecewa. Kemarilah.” (Ajak bahagia).
Kecewa : “Aku iri padamu. Kau tak pernah terguncang Perih, apalagi Sedih. Yang ada hanya senyum, hanya tawa.” (Keluh Kecewa).
Bahagia : “Ha… ha…. ha….. Kecewa-Kecewa sebaliknya aku berterima kasih padamu”. (Tertawa terbahak-bahak mendengar keluhan Kecewa”).
Kecewa : “Apa…..????. (Terkejut, tidak percaya). Semua menyalahkan aku. Karena aku Perih ada, karena aku pula Sedih menjelma. Tapi, kau malah berterima kasih padaku.”
Bahagia : “Iya, aku benar-benar berterima kasih pada mu. Jika bukan karena aku bertemu kau Kecewa, aku tidak mungkin merasakan Perih, merasakan Sedih. Dan seperti yang kau lihat aku bahagia, ya aku benar-benar merasa sangat bahagia. Kau tidak perlu iri padaku. Aku telah melewati semua itu. Coba kau ingat-ingat bukankah disepanjang perjalanan mu, kau berjumpa Perih dan Sedih. Kesabaran yang kau punya dan ketegaran yang dekap erat. Kini lihatlah kau sekarang ada bersama ku. Muara segala sumber kebahagiaan. Tidakkah kau sadari itu kecewa?. Kau sekarang menjelma menjadi sosok yang ber-Bahagia.
by : Tsurayya Az-Zahra
Selesai bersama mendung mengawali surya membenam diri keufuk barat.
Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
Jum’at, 08 April 2011 / 04 Jummadil Awal 1432 H
Kecewa : “Hai, perih? Apa gerangan yang tengah engkau lakukan”. (Kecewa memulai pembicaraan).
Perih : “Pergi kau. Menyingkirlah dari hadapanku. Kehadiran mu membuatku semakin dirundung rasa perih”. (SahutPerih ketus).
Kecewa : “Kenapa kau berkata begitu. Apa salahku padamu?. Hingga kau tega menuduhku demikian?”.
Perih : “Berhentilah berpura-pura. Aku bisa seperti ini, itu karena kau Kecewa. Kau penyebab kenapa aku sekarang Perih”.
Kecewa : “Tap.... tap...tapi.......”
Perih : “Enyahlah kau dari hadapan ku”. (Hardik Perih).
Kecewa pamit bersama persaan tak terima. Berat langkah kembali memulai kisahnya. Sepanjang berjalan batinnya menggerutu. Ingin membela namun tiada daya.
Sedih : “Hu...uuuuuu........ huu....uuuuuuu.......”. (Sedih menangis terisak-isak meratapi keburukan yang tengah dirasakannya).
Kecewa : (Kecewa datang menghampiri. Ia bermaksud untuk menghibur). “Maaf perih, bolehkah aku bertanya?”.
Sedih : “Ya, apa yang ingin kau tanyakan?. Huu...uuuu... hu....uuuuu...... hiks..... hiks..... (Sahut sedih ditengah isak tangisnya).
Kecewa : “Kenapa kau berurai air mata. Dapatkah kau memberitahuku sebentuk rasa itu?”. (Rasa penasaran menggugah hasrat tanya Kecewa).
Sedih : “Waktu seolah terhenti. Seakan tak menemui kehidupan laksana terkunci dalam ruang pengap. Sekuat apapun usaha kau untuk tak tercekat akan membuatmu tetap terjerat. Semakin terpuruk dalam perangkap. Perangkap kesedihan, perangkap gelimangan air mata. Samudra ketidak berdayaan tiada bertepian”.
Kecewa : (Air bergulir terus-menerus membajiri kesedihan. Sedih benar-benar tengah diliputi kesedihan yang teramat dalam. Kecewa tak peduli ia masih harus terus bertanya). Sedih, bolehkah aku tahu apa penyebab kesedihan mu?”
Sedih : “Kau”. (Lantang Sedih berujar. Tatapannya nanar. Menatap tajam Kecewa).
Kecewa : “Aaaa…a..a... ku”. (Kecewa terbata-bata mengulangi ucapan sedih).
Kecewa : “Apa maksudmu dengan mengatakan aku penyebabnya?” (Nada keterkejutan kecewa yang sama sekali tidak terima atas hujatan Sedih padanya).”
Sedih : “Ya. Jika bukan karena kau aku tidak mungkin sedih seperti sekarang ini.” (Sedih kembali menegaskan. Intonasinya mulai meninggi kendati air mata membajiri).
Kecewa : “Tiiidak…. tiiiidak ini tidak mungkin.” (Kecewa hilang kepercayaan diri. Langkah gontainya. Ia pun berlalu pergi meninggalkan sedih bersama kesedihannya).
Mengapa aku?, Kenapa harus aku?. Kecewa terus menerus menanyakan pertanyaan serupa disetiap jengkal lelah langkahnya. Kini Ia semakin jauh meninggal sedih. Tak lama kemudian, disaat pengujung lelahnya Ia menjumpai sesosok yang tak asing baginya. Sesekali tersenyum lalu kemudian tertawa begitulah seteruslah prilaku sosok yang dikenal akrab oleh Kecewa. Setiap saat selalu dengan kebiasaan serupa ternsenyum lalu tertawa.
Kecewa : “Hai, bahagia”. (Sapa kecewa bernada goyah).
Bahagia : “Ah…. rupanya kau Kecewa. Kemarilah.” (Ajak bahagia).
Kecewa : “Aku iri padamu. Kau tak pernah terguncang Perih, apalagi Sedih. Yang ada hanya senyum, hanya tawa.” (Keluh Kecewa).
Bahagia : “Ha… ha…. ha….. Kecewa-Kecewa sebaliknya aku berterima kasih padamu”. (Tertawa terbahak-bahak mendengar keluhan Kecewa”).
Kecewa : “Apa…..????. (Terkejut, tidak percaya). Semua menyalahkan aku. Karena aku Perih ada, karena aku pula Sedih menjelma. Tapi, kau malah berterima kasih padaku.”
Bahagia : “Iya, aku benar-benar berterima kasih pada mu. Jika bukan karena aku bertemu kau Kecewa, aku tidak mungkin merasakan Perih, merasakan Sedih. Dan seperti yang kau lihat aku bahagia, ya aku benar-benar merasa sangat bahagia. Kau tidak perlu iri padaku. Aku telah melewati semua itu. Coba kau ingat-ingat bukankah disepanjang perjalanan mu, kau berjumpa Perih dan Sedih. Kesabaran yang kau punya dan ketegaran yang dekap erat. Kini lihatlah kau sekarang ada bersama ku. Muara segala sumber kebahagiaan. Tidakkah kau sadari itu kecewa?. Kau sekarang menjelma menjadi sosok yang ber-Bahagia.
by : Tsurayya Az-Zahra
Selesai bersama mendung mengawali surya membenam diri keufuk barat.
Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
Jum’at, 08 April 2011 / 04 Jummadil Awal 1432 H