Sadarilah...
kita seringkali melupakan hal-hal yang penting di dalam hidup kita. Dan
kemudian menyesalinya saat semua sudah terlambat...
Dahulu kala, di
sebuah padang hiduplah sebuah pohon apel yang rindang dan banyak buahnya.
Setiap hari, ada seorang anak kecil yang senang bermain di bawah pohon
tersebut. Ia memanjat pohon tersebut, duduk di atas batang yang besar dan kuat,
makan apel dan bahkan tidur di bawah rindangnya pohon. Ia sangat mencintai
pohon itu, demikian pula sebaliknya sang pohon. Ia tak pernah merasa keberatan
saat si anak kecil bermain di sekitarnya. Ia bahkan seringkali mengajaknya
bercanda dan bercerita.
Waktupun
berlalu, si anak telah beranjak dewasa. Suatu hari ia mengunjungi pohon apel
dengan wajah yang sedih.
"Apel, aku
sedih," katanya.
"Mengapa
kau sedih wahai anakku?"
"Aku tak
punya mainan, aku ingin membeli mainan tapi aku tidak punya uang," katanya
lagi.
Melihat si anak
menangis, pohon apelpun iba. Dijatuhkannya beberapa buah apel dari tubuhnya.
"Aku tak
punya mainan untuk kuberikan padamu. Tetapi, kau bisa menjual apel-apel ini
agar kau punya uang dan bisa membeli mainan," kata si pohon apel.
Bergegas dengan
wajah bahagia dan penuh semangat, anak kecil itu memungut semua apel yang jatuh
dan dijualnya ke pasar. Iapun berhasil membeli mainan yang didambakannya.
Sayangnya, ia
tak pernah kembali... dan bersedihlah si pohon apel.
***
Si anak telah
beranjak dewasa. Ia telah memiliki keluarga dan anak-anaknya. Suatu kali, ia
lewat di padang. Dan pohon apel menyapanya, "hei, kemarilah. Ayo bermain
denganku," katanya.
"Ah, aku
tak punya waktu bermain denganmu. Aku punya anak dan keluarga yang harus kuberi
makan dan tempat tinggal. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk membeli
rumah," keluhnya.
Tak tega melihat
si anak yang tak punya rumah, pohon apelpun berkata, "Nak, aku tak bisa
memberikanmu sebuah rumah. Tetapi, kau bisa memotong ranting-ranting kokohku
ini. Bangunlah rumah dengan rantingku agar keluarga dan anak-anakmu tak lagi
kedinginan, kehujanan dan kepanasan." kata si pohon apel.
Kegirangan
mendengar ide pohon apel, si anak mengambil gergaji dan memotong
ranting-ranting pohon apel dengan penuh semangat.
Sayangnya, ia
tak kembali lagi... dan pohon apelpun bersedih.
***
Beberapa tahun
kemudian, si anak kembali dengan wajah yang letih dan lesu.
"Hai,
kemarilah. Ayo bermain denganku," sambut pohon apel kegirangan melihat si
anak kembali.
"Tidak, aku
tak punya waktu bermain denganmu. Aku sudah tua. Aku merasa jenuh. Aku ingin
menghibur diriku dan berlayar di samudera luas. Bisakah kau memberikanku sebuah
kapal yang besar?" tanya si anak.
"Hmm... aku
tak bisa memberikanmu kapal yang besar. Tetapi, kau boleh memotong batang
pohonku dan membuatnya menjadi kapal," kata pohon apel dengan tulus.
Demikianlah si
anak memotong batang pohon apel yang besar. Mengubahnya menjadi kapal dan pergi
berlayar. Ia meninggalkan pohon apel yang kini tinggal akar yang lemah.
Pohon apelpun
bersedih dan berdoa agar si anak dapat kembali lagi.
***
Benar dugaan si
pohon apel, suatu hari, si anak kembali mengunjunginya. Namun ia sudah sangat
tua dan lemah. Ia terlihat sangat lelah.
"Hai nak,
kemarilah. Aku sudah tak punya apa-apa yang bisa kuberikan padamu. Tak ada buah
apel, tak ada ranting atau batang pohonku," katanya.
"Tidak, aku
tak butuh apelmu. Gigiku tak lagi kuat untuk mengigitnya. Aku juga tak butuh
rantingmu, tubuhku terlalu lemah untuk memanjatnya," kata si anak.
"Lalu apa
yang kau butuhkan dariku? Buahku sudah kau ambil, rantingku sudah kuberikan,
bahkan batangku sudah kau jadikan kapal. Kini aku tinggal akar yang lemah dan
tua. Aku sudah tak berdaya," kata pohon apel.
Si anak kecil
berlutut dan menangis di dekat akar tua itu. "Maafkan aku, aku telah
membuatmu nyaris mati dan tak berdaya. Aku sudah merampas semua milikmu dan
malah seringkali pergi meninggalkanmu. Kini, ijinkan aku berbaring di
sampingmu. Aku terlalu lelah, dan aku hanya butuh sebuah tempat untuk
beristirahat, terakhir kalinya."
"Kemarilah nak, aku akan memberikanmu
tempat beristirahat yang tenang sepanjang sisa hidupmu..." kata pohon apel
sambil tersenyum bijaksana.
***
Pohon apel di
sini mengingatkan kita pada orang tua. Yang ketika masih kecil mengajak kita
bermain, memberi makan, dan memanjakan. Namun, ketika kita dewasa, kita
seringkali melupakannya. Kita banyak meminta, banyak menuntut, dan hanya datang
saat kita punya masalah saja.
Jangan biarkan
orang tua kita hidup bagaikan pohon apel yang tinggal akarnya saja. Buatlah
orang tua Anda menjadi pohon apel yang subur dan tumbuh sehat hingga masa
tuanya.
Sampai menjadi
pohon apel yang berbahagia.